Seperti halnya Adam dan Hawa, korelasi monogami telah menjadi kriteria sosial dalam penduduk . Kebanyakan orang hidup dengan ajaran pentingnya hidup bahagia hingga akhir hayat dengan satu orang saja.
Pernikahan, apalagi dalam budaya Timur, dipandang sakral. Itu mengapa korelasi non-monogami mirip korelasi terbuka atau open relationship sering dikaitkan dengan stigma dalam populasi umum.
Namun, sebuah studi baru dari University of Guelph sudah memperoleh perspektif gres. Para ilmuwan mendapatkan bahwa orang-orang dalam korelasi terbuka sama bahagianya dengan mereka yang menjalani kekerabatan monogami.
Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Social and Personal Relationships ini melibatkan survei kepada lebih dari 140 orang yang menjalani hubungan non-monogami dan lebih dari 200 orang dalam korelasi monogami.
Para akseptor ditanya ihwal kepuasan mereka dengan relasi dikala ini. Mereka juga menjawab pertanyaan ihwal apakah mereka sudah mempertimbangkan untuk berpisah dari pasangan atau beberapa pasangan mereka.
Selain itu mereka juga ditanya apakah mereka membuat pengakuan pada pasangan, juga menjawab bagaimana tingkat kebahagiaan mereka secara keseluruhan dalam hubungan tersebut.
Hasilnya cukup mengejutkan. Bukti memberikan, orang-orang dalam kekerabatan non-monogami sama puasnya dengan pasangan utama mereka, seperti halnya orang-orang dalam hubungan monogami.
"Kami menemukan orang-orang dalam hubungan konsensual non-monogami mengalami tingkat kepuasan korelasi yang sama, kemakmuran psikologis dan kepuasan seksual mirip mereka yang menjalani hubungan monogami," kata Jessica Wood.
Wood yaitu mahasiswa PhD dalam bidang psikologi sosial terapan di University of Guelph yang juga penulis utama studi ini. Imbuh Wood, "Ini membantah pandangan sosial monogami selaku struktur hubungan yang ideal."
Wood juga memutuskan bahwa aspek penting yang memprediksi kepuasan relasi bukanlah struktur kekerabatan itu sendiri, melainkan motivasi seksual.
"Dalam kekerabatan monogami dan non-monogami, orang-orang yang melakukan korelasi seksual untuk merawat kedekatan dengan pasangan dan untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka memiliki relasi yang lebih membuat puas, dibandingkan dengan mereka yang berafiliasi seksual alasannya argumentasi yang kurang intrinsik seperti untuk menyingkir dari konflik," papar Wood.
Studi ini juga mengungkap bahwa korelasi non-monogami mungkin tidak sejarang yang Anda kira. Di Amerika Utara saat ini, ada tiga hingga tujuh persen orang yang melakoni hubungan non-monogami konsensual.
Jadi jikalau Anda berpikir korelasi terbuka adalah hal tak masuk akal, faktanya tidak juga. "Ini lebih umum dibandingkan dengan yang dipikirkan kebanyakan orang," kata Wood.
Wood menerangkan, sebagian orang saat ini berharap banyak pada pasangannya. Mereka mengharapkan kepuasan dan antusiasme seksual, di saat yang serupa juga butuh perlindungan emosional dan keuangan.
Berusaha menyanggupi semua keperluan ini mampu menimbulkan hubungan yang berada di bawah tekanan. "Untuk menghadapinya, kami menyaksikan beberapa orang mulai melirik relasi non-monogami konsensual,” Wood berujar.
Berkaca pada temuan observasi ini, sepertinya ada kesempatan yang sama baiknya untuk senang dalam hubungan non-monogami. Studi ini memperlihatkan bahwa jika hubungan menawarkan pemenuhan kebutuhan psikologis dan seksual, struktur korelasi itu sendiri tidak sepenting itu.
Apakah hasil studi ini akan meruntuhkan kelanggengan persepsi negatif orang akan kekerabatan terbuka, belum dikenali.
Namun, Britt Burr dalam perbincangannya dengan Bustle menyatakan tidak terkejut akan temuan Wood dan timnya. Menurut Burr selama ini kita sekadar ikut paham monogami, menganut tanpa mempertanyakan atau mencari tahu kenapa.
"Sekarang orang-orang mendapatkan lebih banyak ruang untuk mengajukan pertanyaan, dan ada kosakata baru untuk hubungan," jelas Burr. Kosakata baru dalam korelasi ini membantu orang memahami diri mereka dan orang lain.
Kosakata yang dimaksud Burr yakni kekerabatan non-monogami konsensual mirip yang dibahas Wood dalam studinya. Perlu dimengerti bahwa itu berbeda dengan poliamori.
Biasanya dalam hubungan poliamori, salah satu pasangan terlibat korelasi romantis dengan beberapa orang lain, walau atas persetujuan pasangan. Sementara hubungan non-monogami konsensual tidak menyiratkan tingkat kekerabatan emosional yang sama dalam poliamori.
Hanya saja, dalam kekerabatan tersebut seseorang berkata jujur ihwal cita-cita untuk bekerjasama dengan orang lain. Dengan demikian siapa saja yang terlibat dalam relasi ini dalam keadaan 100 persen sadar akan apa yang mereka jalani.
Pernikahan, apalagi dalam budaya Timur, dipandang sakral. Itu mengapa korelasi non-monogami mirip korelasi terbuka atau open relationship sering dikaitkan dengan stigma dalam populasi umum.
Namun, sebuah studi baru dari University of Guelph sudah memperoleh perspektif gres. Para ilmuwan mendapatkan bahwa orang-orang dalam korelasi terbuka sama bahagianya dengan mereka yang menjalani kekerabatan monogami.
Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Social and Personal Relationships ini melibatkan survei kepada lebih dari 140 orang yang menjalani hubungan non-monogami dan lebih dari 200 orang dalam korelasi monogami.
Para akseptor ditanya ihwal kepuasan mereka dengan relasi dikala ini. Mereka juga menjawab pertanyaan ihwal apakah mereka sudah mempertimbangkan untuk berpisah dari pasangan atau beberapa pasangan mereka.
Selain itu mereka juga ditanya apakah mereka membuat pengakuan pada pasangan, juga menjawab bagaimana tingkat kebahagiaan mereka secara keseluruhan dalam hubungan tersebut.
Hasilnya cukup mengejutkan. Bukti memberikan, orang-orang dalam kekerabatan non-monogami sama puasnya dengan pasangan utama mereka, seperti halnya orang-orang dalam hubungan monogami.
"Kami menemukan orang-orang dalam hubungan konsensual non-monogami mengalami tingkat kepuasan korelasi yang sama, kemakmuran psikologis dan kepuasan seksual mirip mereka yang menjalani hubungan monogami," kata Jessica Wood.
Wood yaitu mahasiswa PhD dalam bidang psikologi sosial terapan di University of Guelph yang juga penulis utama studi ini. Imbuh Wood, "Ini membantah pandangan sosial monogami selaku struktur hubungan yang ideal."
Wood juga memutuskan bahwa aspek penting yang memprediksi kepuasan relasi bukanlah struktur kekerabatan itu sendiri, melainkan motivasi seksual.
"Dalam kekerabatan monogami dan non-monogami, orang-orang yang melakukan korelasi seksual untuk merawat kedekatan dengan pasangan dan untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka memiliki relasi yang lebih membuat puas, dibandingkan dengan mereka yang berafiliasi seksual alasannya argumentasi yang kurang intrinsik seperti untuk menyingkir dari konflik," papar Wood.
Studi ini juga mengungkap bahwa korelasi non-monogami mungkin tidak sejarang yang Anda kira. Di Amerika Utara saat ini, ada tiga hingga tujuh persen orang yang melakoni hubungan non-monogami konsensual.
Jadi jikalau Anda berpikir korelasi terbuka adalah hal tak masuk akal, faktanya tidak juga. "Ini lebih umum dibandingkan dengan yang dipikirkan kebanyakan orang," kata Wood.
Wood menerangkan, sebagian orang saat ini berharap banyak pada pasangannya. Mereka mengharapkan kepuasan dan antusiasme seksual, di saat yang serupa juga butuh perlindungan emosional dan keuangan.
Berusaha menyanggupi semua keperluan ini mampu menimbulkan hubungan yang berada di bawah tekanan. "Untuk menghadapinya, kami menyaksikan beberapa orang mulai melirik relasi non-monogami konsensual,” Wood berujar.
Berkaca pada temuan observasi ini, sepertinya ada kesempatan yang sama baiknya untuk senang dalam hubungan non-monogami. Studi ini memperlihatkan bahwa jika hubungan menawarkan pemenuhan kebutuhan psikologis dan seksual, struktur korelasi itu sendiri tidak sepenting itu.
Apakah hasil studi ini akan meruntuhkan kelanggengan persepsi negatif orang akan kekerabatan terbuka, belum dikenali.
Namun, Britt Burr dalam perbincangannya dengan Bustle menyatakan tidak terkejut akan temuan Wood dan timnya. Menurut Burr selama ini kita sekadar ikut paham monogami, menganut tanpa mempertanyakan atau mencari tahu kenapa.
"Sekarang orang-orang mendapatkan lebih banyak ruang untuk mengajukan pertanyaan, dan ada kosakata baru untuk hubungan," jelas Burr. Kosakata baru dalam korelasi ini membantu orang memahami diri mereka dan orang lain.
Kosakata yang dimaksud Burr yakni kekerabatan non-monogami konsensual mirip yang dibahas Wood dalam studinya. Perlu dimengerti bahwa itu berbeda dengan poliamori.
Biasanya dalam hubungan poliamori, salah satu pasangan terlibat korelasi romantis dengan beberapa orang lain, walau atas persetujuan pasangan. Sementara hubungan non-monogami konsensual tidak menyiratkan tingkat kekerabatan emosional yang sama dalam poliamori.
Hanya saja, dalam kekerabatan tersebut seseorang berkata jujur ihwal cita-cita untuk bekerjasama dengan orang lain. Dengan demikian siapa saja yang terlibat dalam relasi ini dalam keadaan 100 persen sadar akan apa yang mereka jalani.
.jpg)
